21/02/2015

Derita Kontrakan

Waktu saya keterima kuliah di Surabaya, saya tinggal sama Bapak di rumah kontrakan di Rungkut Menanggal Harapan, waktu itu masih di blok U. Bapak yang sudah lama tinggal di Surabaya karena tuntutan pekerjaan berbeda dengan saya yang masih berusaha untuk menyesuaikan diri. Beberapa hal ini seperti memasukkan motor dahulu ke dalam ruang tamu biar pas Bapak pulang terasnya cukup buat mobil, pagi hari juga begitu, Bapak mengeluarkan mobil dahulu biar motor saya bisa keluar. Meskipun repot tapi mau gimana lagi.

Hal yang paling tidak saya suka di kontrakan ini adalah banyak kecoak! Datangnya dari lubang kamar mandi. Selain itu hewan lain yang menganggu sekali adalah nyamuk yang buanyak banget meskipun sudah disemprot berkali-kali! Jadilah barang wajib yang harus ada di kontrakan ini adalah semprotan parfum Victoria's Secret Baygon untuk mengusir kedua hewan tersebut selain sapu (saya suka mukul kecoak pake sapu). Masalah kedua adalah kondisi kontrakan ini yang sangat amat lembab sehingga menyebabkan dinding rumah gampang mengelupas hampir di semua bagian, di semua kamar. Ibu saya sampai uring-uringan setiap kali main ke sini (main, jare). Hingga pada akhirnya saya dan Bapak harus pindah nyari kontrakan lain karena waktu sewanya sudah berakhir. Bilangnya sih pindah tapi cuma pindah 2 blok yaitu blok T-1. Jadi selamat tinggal blok U.

Kontrakan di blok T-1 ini adalah kontrakan yang saya tempati hingga saat ini selama saya tinggal di Surabaya. Saya suka tampak depan kontrakan ini yang simple. Saya juga sudah mengincar kontrakan ini waktu muterin Rungkut nyari kontrakan. Tapi masalah yang ada di dalamnya sungguhlah bikin saya repot setengah mati.

Ternyata kontrakan ini ada hewan lain yang bikin repot yaitu TIKUS. Kontrakan ini entahlah kok ya banyak lubang-lubang yang jadi jalur keluar-masuk tikus. Mana tikusnya besar-besar hiiiii saya sampai geli sendiri waktu menulis ini! Saya akhirnya berusaha sendiri menutup lubang-lubang itu bermodalkan kayu-kayu bekas sama paku dan palu. Lubang-lubang yang saya tutup waktu itu ada di ruang tengah di kusen jendela dan di dapur dekat kusen jendela juga. Saya masih ingat setiap saya pulang kuliah sore, pasti ada tikus yang masuk dan langsung kabur lewat lubang di kusen jendela begitu ada suara orang masuk rumah. Mengerikan sekali melihat tikus-tikus itu kabur, mana pernah ada yang besar. Rasanya saya ingin menghapus memori saya waktu itu.

Perasaan lubang semua sudah ditutup tapi kok ya masiiih aja ada tikus yang masuk ke dapur. Saya sampai jengkel sendiri. Sampai pada suatu malam, saya melihat di jendela kamar saya yang nyambung dengan ruang mesin cuci ada tikus yang manjat, ya MANJAT ke atas!!! Pasalnya bukan cuma sekali, lebih dari lima kali ada saya melihat tikus-tikus memanjat jendela bagian luar kamar saya untuk kabur. Di sini saya ingin menghapus memori saya untuk kedua kalinya. Saya sampai pasrah untuk melawan hama tikus ini.

Gara-gara masalah tikus sialan ini saya tidak berani ke dapur, saya tidak berani ke kamar mandi, pokoknya saya tidak berani keluar kamar sendiri, makan pun saya kebanyakan njajan di luar kalo nggak makan di kamar sambil bawa botol minum. Konyol memang tapi saya takut amat sangat sama tikus apalagi setelah berkali-kali melihat wujudnya (entah kenapa mesti selalu saya yang sial melihat wujud tikus sialan seliweran di dalam rumah daripada Bapak saya). Rumah menjadi kotor karena karena saya takut menyapu rumah. Saya yang suka masak-masak di dapur sampai ada 5 bulan tidak menyentuh dapur sama sekali bahkan untuk mencuci piring (ya, saya sampai menghindari dapur waktu itu), ya masalah tikus sialan ini sampai berbulan-bulan lho, bahkan sampai hampir 2 tahun saya berkuliah. Begitu panjangnya perjuangan melawan tikus-tikus bedebah, jahanam ini sampai membuat saya desperate housewives.

Horor tikus paling melekat di saya adalah setiap weekend dimana saya sendirian di rumah karena Bapak adalah seorang PJKA Solo-Surabaya (Pulang Jumat Kembali Ahad). Saya benar-benar mendekam di kamar, keluar hanya untuk mencari makan atau mandi, itupun sambil berlari tidak melihat kemana-mana. Horor tikus ini juga membuat saya kalo sudah di kampus atau di luar malas untuk pulang ke rumah karena pasti saya disambut tikus (disambut, jare). Alhasil selama itu saya mesti selalu pulang malam biar sampai rumah langsung tidur. Selain itu gara-gara masalah tikus sialan, kampret, jiambret ini saya menjadi tidak produktif. Ternyata hal ini mempengaruhi semangat saya dalam mengerjakan tugas-tugas, saya menjadi sangat paranoid dan malas. Akhirnya banyak tugas saya yang terbengkalai padahal waktu itu ada tugas Metodologi Penelitian yang cukup penting. Saya kerjaannya hanya di kamar ketakutan, membuka laptop hanya untuk bermain, tidur-tiduran, pikiran saya dipenuhi horor tikus, saya hampir menjadi tahanan di kamar sendiri. Saya pun jadi jarang solat karena takut mengambil wudhu. Bahkan hubungan saya dengan Tuhan pun ikut kacau gara-gara masalah tikus sialan, bedebah, pergi kau ke neraka @%^819!?:&^&^%@#!!! Inilah salah satu lowest points saya selama tinggal di kontrakan ini sampai saya menangis. Saya stress sendiri sampai jerawat-jerawat saya nggak keruan. Saya bahkan sampai berpikir untuk pindah nge-kos sendiri saja daripada saya kesusahan seperti ini sampai nanti lulus kuliah!

Untungnya Bapak saya mengerti masalah ini setelah saya berbicara dengannya. Pada akhirnya saya bilang ke Bapak saya untuk mengakhiri ini semua (bukan saya bukan mau bunuh diri). Usut punya usut ternyata ada lubang yang masih terbuka yaitu lubang di atas dari pipa AC untuk ventilasi AC yang berada di ruang mesin cuci. Akhirnya dengan bantuan Bapak, lubang tersebut berhasil ditutup. Dan alhamdulillah tikus-tikus sudah tidak ada yang masuk lagi. Meskipun kadang ada 1-2 yang masuk tapi itu gara-gara Bapak saya membiarkan pintu dapur yang tembus garasi terbuka lama, bukan karena ada lubang buat jalur ti*&s. Bahkan kemarin masih ada tikus yang masuk ke dapur, dan lagi-lagi saya yang selalu sial melihat wujud ti*&s ini sementara Bapak saya tidak. Selain itu Bapak juga memasang jebakan tikus dan selalu berhasil menangkap ti*&s-ti*&s bedebah itu (rasakno!).

Tadi pun saya akhirnya memberanikan diri menutup lubang-lubang baru di dekat pipa AC, dengan plastik kresek, kesusahan manjat-manjat takut jatuh, sendirian. Entah kenapa masih ada tikus yang berusaha masuk ke rumah kontrakan ini, heran saya. JUST GIVE UP, DAMN IT!!! JUST GO AWAY TO HELL, YOU SUCK!!! YOU RUIN MY LIFE!!! F*CK YOU, YOU LITTLE PIECE OF SH*T!!!!!

Yah semoga tidak akan pernah ada lagi tikus yang masuk ke rumah kontrakan saya yang sebenarnya nyaman ini untuk selama-lamanya. Horor itu meskipun sudah lama berlalu tetapi masih sangat membekas. Saya tidak ingin mengulangi horor itu lagi, ever! Semoga hidup saya bebas tanggung jawab ti*&s selama-lamanya! Aamiiin.

04/02/2015

Seorang Jawa yang Tidak Berbahasa Jawa

Sebagai seorang yang besar di Solo selama 15 tahun hingga saat ini, saya jadi menyerupai ciri-ciri orang Solo kebanyakan. Banyak strangers yang ketika memperkenalkan diri dan menanyai asal lalu saya menjawab kalo saya berasal dari Solo, mereka seperti langsung ber-oh-oh. Seperti "Oh dari Solo, pantes kalem banget." atau "Oh wong Solo, tho. Alus banget ngomong e." sampai "Oh dari Solo. Mirip Jokowi ya." Hehehe.

Padahal saya sebenernya orang Surabaya. Saya lahir di Surabaya. Ibu saya orang Madura, Bapak saya orang Jember. Sebenernya saya masih bingung juga sih dengan konsep 'asli mana'. Asli saya orang Surabaya tapi saya besar di Solo. Solo sudah menjadi tempat saya besar (diulang-ulang). Jadi ya saya jawab saja kalo saya asli Solo, lha wong saya besar di Solo, dari TK sampai SMA (diulang lagi, iyo iyo Ga).

Tapi meskipun saya lama tinggal di Solo saya tidak fasih berbahasa Jawa, apalagi boso kromo inggilan. Aneh ya. Saya sampai dikira anak sombong, sok-sokan karena nggak mau pake Bahasa Jawa kalo diajak ngomong. Pernah waktu itu di acara mahasiswa baru saya diajak berkenalan dengan anak-anak dari luar daerah. Saya bilang saya asli Solo, kemudian anak-anak itu bilang kalo saya pasti bisa Bahasa Jawa. Saya bilang saja kalo saya belum fasih, eh mereka malah bilang kalo saya sok-sokan nggak mau pake Bahasa Jawa.

Jujur saya kalo diajak orang Solo asli atau orang yang bisa berbahasa Jawa suka deg-degan. Takut nanti kalo diajak ngomongnya apa, jawabnya apa. Apalagi kalo orang tersebut sudah pakai Bahasa Jawa yang kromo inggilan. Waduh lidah saya sampai kelu. Biasanya kalo sudah gini, sih saya bilang saja ke mereka kalo saya ora iso jowo-an. Tapi saya malah dimarahi karena melupakan bahasa daerah. Walaupun ujung-ujungnya mereka juga maklum, apalagi sekarang banyak anak muda (tsieeeh) yang udah nggak berbahasa Jawa dengan baik dan benar.

Pernah ada kejadian lucu gara-gara dapat predikat wong Solo, saya diharapkan bisa berbahasa Jawa. Jadi waktu itu ada kegiatan survey untuk tugas kuliah. Survey-nya di Bojonegoro, karena tema tugasnya pariwisata, maka saya dan teman sekelompok pergi ke objek-objek pariwisata di Bojonegoro (yang penasaran di Bojonegoro itu ada apa aja, buka Instagram saya, @algawbs). Salah satu objek itu adalah Wisata Budaya Suku Samin yang jaraknya dari kota sangat jauh dan letaknya bagaikan desa ninja yang tersembunyi di dalam hutan ( keren deh!). Nah sampai di sana saya dan teman-teman mewawancarai seorang Ketua Adat Suku Samin bernama Mbah Samin. Mbah Samin ini hanya bisa ngomong Bahasa Jawa, yang kromo inggil lagi. Teman-teman pun langsung menunjuk saya yang bertugas untuk mewawancarai. Setelah sebelumnya teman saya, si Sonya yang dengan gembira mewawancarai dengan Bahasa Indonesia langsung ditolak Mbah Samin hahaha. Mampus, saya pun gelagapan nggak bisa kromo inggilan. Saya bingung mencari-cari kosakata yang tepat dan bicara saya tersendat-sendat. Akhirnya teman saya, si Nikita/Mbechi/Mbak Kik, wanita Suroboyo Tuban tulen lah yang mewawancarai Mbah Samin. Saya dimarahi Nikita karena sebagai wong Solo ora iso jowo-an.
Saya malu.

Bahasa Jawa menurut saya sulit sekali untuk dipelajari, saya dari SD sampai SMA pasti selalu dapat nilai jelek setiap ulangan. Lebih sulit dari Bahasa Inggris atau Bahasa Jerman, tapi masih sulit Bahasa Mandarin sih. Jadi Bahasa Jawa itu ada empat tingkat yaitu ngoko lugu, ngoko alus, kromo lugu dan kromo inggil. Setiap tingkat itu memiliki kosakata yang berbeda-beda, belum lagi susunannya arrrgh. Mendingan Bahasa Inggris, deh, masih gampang.

Saya bukannya tidak mau melestarikan budaya daerah. Saya suka kok kalo mendengarkan orang berbicara Bahasa Jawa apalagi yang kromo inggil, rasanya adem. Meskipun saya tidak fasih berbahasa Jawa, tapi saya masih bisa mengerti lho apa yang dikatakan, mau itu kromo inggil sekalipun. Selain itu saya juga pinter banget kalo udah urusan sama ha-na-ca-ra-ka atau Aksara Jawa. Mending itu banget daripada kromo inggil-an. Setiap tes Bahasa Jawa pasti yang saya kerjakan duluan soal Aksara Jawa. Yaaa walaupun itu nggak membantu nilai Bahasa Jawa. Karena apa? Karena soal Aksara Jawa itu porsinya dikit. Hiks.

Sampai sekarang sih saya masih berbahasa Jawa ngoko kalo lagi sama temen. Selain itu juga saya berbahasa jowo suroboyoan yang slengekan dan asik, maklum saya kuliah ini sudah hampir 4 tahun di Surabaya jadi fasih jowo suroboyoan. Lucunya banyak slang words dari jowo suroboyan yang pengucapannya bikin ngakak. Beda sama Bahasa Jawa-Solo dan sekitarnya yang masih halus kayak pantat bayi.

Intinya sih walaupun kalian fasih atau tidak berbahasa daerah, berbahasa Indonesia haruslah baik dan benar. Karena sekarang gara-gara pengaruh dialog sinetron dan FTV (tidak, orang Solo sehari-harinya tidak selalu medok dan pakai batik lurik), Bahasa Indonesia yang baik dan benar semakin tergerus. Ya semoga itu jangan sampai terjadi sih. Denger-denger Bahasa Indonesia bahkan akan dijadikan bahasa ibu di ASEAN ini. Wah syukur kalo terjadi.

ini mengerikan sekali guys...